Murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak-akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Sebab, ilmu merupakan ibadah hati. Dia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang lain. Sebab, selagi pikiran bercabang-cabang, kemampuannya mengali hakikat menjadi terbatas.
Orang-orang salaf lebih mementingkan ilmu daripada hal-hal yang lain. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, dia baru menikah setelah setelah berumur empat puluh tahun. Suatu ketika Abu Bakar al-Anbary dihadiahi seorang pembantu wanita yang cantik. Setelah pembantu wanita itu berada di rumahnya, dia berpikir untuk menanyakan suatu masalah kepada Abu Bakar. Karena itu, dia masuk ke ruangannya, dan hanya mereka berdua saja yang ada di sana. Abu Bakar al-Anbari segera berteriak, "Bawa wanita ini ke penjual budak!" "Apa dosaku," Tanya wanita itu. "Engkau tidak bersalah. Hanya saja, hatiku bias sibuk memikirkan dirimu. Wanita semacam dirimu ini tentu akan menghalangiku untuk mendalami ilmu." Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu, dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya. Ibnu Abbas r.a. pernah memegangi tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit r.a., seraya berkata, "Beginilah yang kami lakukan terhadap orang yang berilmu." Selagi murid merasa sombong dengan tidak mau mengambil manfaat dari orang yang mungkin kurang terkenal, dia adalah orang yang bodoh. Sebab, hikmah adalah orang mukmin yang hilang. Selagi barang itu sudah ditemukan, hendaklah dia segera mengambilnya. Hendaklah dia menyerahkan pendapatnya kepada pendapat gurunya. Jika guru salah, masih lebih bermanfaat bagi murid daripada murid merasa dirinya benar. Ali bin Abu Thalib r.a. berkata, "Di antara hak orang yang berilmu (guru) atas dirimu ialah hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majelisnya), memberi salam hormat secara khusus kepadanya, duduk di hadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih, tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak memegang bajunya jika dia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika dia salah bicara harus dimaklumi, tidak boleh berkata di hadapannya, 'Kudengar Fulan berkata begini, yang berbeda dengan pendapatmu,' jangan katakana di hadapannya bahwa dia adalah seorang ulama, jangan terus-menerus menyertainya, jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu keperluan, keperluanya harus segera dipenuhi. Kedudukan dirinya seperti pohon kurma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh darinya." Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bias mengacaukan pikirannya dan membuyarkan konsentrasinya. Dia harus mengambil yang terbaik dari segala sesuatu. Sebab, umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tidak lain adalah ilmu yang berkaitan dengan akhirat, yang dengan ilmu itu akan diperoleh keyakinan seperti yang diperoleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Sampai-sampai Rasulullah saw. Memberikan kesaksian kepadanya dengan bersabda (yang artinya), "Abu Bakar tidak mengalahkan kalian karena banyak puasa dan tidak pula salat, tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam dadanya." (Hadis ini disebutkan Imam Tajuddin as-Subky di dalam Thabaqatusy-Syafi'iyah, dalam sebuah bab yang dikategorikan dalam hadis-hadis yang sama sekali tidak memiliki isnad, 6/288). Adapun guru mempunyai beberapa tugas, di antaranya menyayangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri, tidak meminta imbalan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih, dia harus mengajarkan ilmu karena mengharapkan rida Allah, tidak melihat dirinya lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mempersiapkan hatinya untuk bertakarub kepada Allah dengan cara menanam ilmu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti sebidang tanah yang siap ditanami. Tidak selayaknya bagi guru untuk meminta balsan, kecuali dari Allah semata. Bahkan, orang-orang salaf menolak jika ada murid yang memberinya hadiah. Guru tidak boleh menyimpan nasihat yang seharusnya diberikan kepada murid meskipun sedikit, harus memperingatkannya dari akhlak yang buruk dengan cara yang sehalus-hasulnya dan tidak boleh mendampratnya, karena dampratan justru akan mengurangi pamor dirinya. Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid dan kapasitas akalnya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya. Diriwayatkan dari Nabi saw., beliau bersabda, "Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran mereka." Ali bin Abu Thalib berkata, "Sesungguhnya di sini ada ilmu. Jika aku beruntung mendapatkannya, tentu aku akan membawanya." Asy-Syafii berkata, "Apakah aku harus menebar mutiara di tempat penggembalaan binatang, dan menata apa yang sudah ditebar bagi penggembala? Siapa yang menyampaikan ilmu kepada orang-orang yang bodoh, maka akan menyia-nyiakan ilmu itu, dan siapa yang tidak menyampaikan ilmu kepada orang yang layak menerimanya, dia telah berbuat zalim." Guru harus berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan. Allah berfirman, "Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca al-kitab?" (Al-Baqarah: 44). Ali bin Abu Thalib berkata, "Punggungku terbelah gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang terbuka aibnya dan orang bodoh yang menjadi ahli ibadah." Sumber: Diadaptasi dari Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin, Al-Imam asy-Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisy
No comments:
Post a Comment